Yogyakarta, 20 Juni 2025 – Program studi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) bukan hanya sekadar ruang akademik, tetapi sebuah wadah yang mengubah cara pandang dan “memanusiakan” para mahasiswanya. Gambaran mendalam ini terungkap dalam seri bincang-bincang online bertajuk “MPRK Talks” yang digelar sepanjang bulan Juni 2025.
Dalam diskusi yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube, sejumlah mahasiswa aktif dari angkatan 2024 berbagi pengalaman mereka menempuh studi di program magister yang menjadi pionir studi perdamaian di Indonesia dan Asia Tenggara ini. Mereka secara kompak menggambarkan MPRK sebagai sebuah “rumah” yang hangat dengan lingkungan akademik yang sangat suportif.
Salah satu poin utama yang mengemuka adalah bagaimana MPRK berhasil menggeser ekspektasi awal para mahasiswanya. Ahmad Habibullah, yang berlatar belakang Hubungan Internasional, mengaku awalnya berharap akan mendalami keamanan dari sisi militer. Namun, di MPRK ia justru diperkenalkan dengan konsep Keamanan Manusia (Human Security) yang lebih luas dan relevan.
“Ekspektasi saya bergeser. Di sini saya belajar keamanan manusia yang lebih sosial, dan saya senang karena perkembangannya saya pelajari di sini,” ungkap Ahmad. Hal senada diungkapkan Alya Maharani, mahasiswi asal Aceh, yang awalnya fokus pada diplomasi antarnegara. “Di sini saya lebih memahami, ternyata diplomat perdamaian tidak harus selalu membahas negara. Konflik di level masyarakat itu juga penting,” tuturnya.
Para mahasiswa menyoroti metode pembelajaran MPRK yang sangat aplikatif dan jauh dari kesan teoritis. Pengalaman “terjun langsung” bahkan dimulai sejak awal perkuliahan, di mana mahasiswa diminta melakukan observasi di lingkungan sekitar untuk memahami isu secara nyata.
“Konflik itu ada di sekitar kita, bahkan dengan diri sendiri,” ujar mahasiswi lainnya, Nadia. “Di sini kami diberi alat untuk berpikir, untuk melihat konflik ini bisa dibawa ke arah kebaikan, bukan cuma adu jotos. Kami belajar mengelolanya.”
Kemampuan analisis ini terbukti saat seorang audiens, Akbar Farid, mengajukan studi kasus riil mengenai konflik distribusi air di desanya. Para mahasiswa dengan sigap menjelaskan pendekatan MPRK. “Kita perlu memetakan dulu siapa saja yang terlibat dan relasi kuasanya. Lalu, cari tahu akar masalahnya, apakah karena sumber daya yang kurang atau ada masalah pengelolaan,” jawab mereka kolektif.
Keunggulan MPRK sebagai program lintas disiplin ilmu terbukti membuka cakrawala baru dan prospek karier yang luas. Para mahasiswa datang dari berbagai latar belakang, mulai dari Hubungan Internasional, Hukum Keluarga Islam, Ilmu Administrasi Negara, hingga Ilmu Komunikasi.
“Alumni kami ada di mana-mana. Ada yang jadi peacemaker di NGO di Papua dan Aceh, ada yang di lembaga pemerintahan seperti Kantor Komunikasi Presiden, dan banyak juga yang menjadi akademisi,” jelas Dimas, salah satu narasumber. Peluang juga terbuka lebar di dunia korporat sebagai mediator atau konsultan konflik.
Fleksibilitas jadwal perkuliahan juga menjadi nilai tambah, memungkinkan mahasiswa yang sudah bekerja atau berkeluarga tetap dapat mengikuti studi dengan baik tanpa merasa keteteran.
Sebagai penutup, salah satu mahasiswa, Ridwan, mengutip pesan dari dosen mereka, Prof. Mohtar, yang menjadi refleksi bersama. “Indonesia itu barang yang belum selesai, maka kita perlu jaga bareng-bareng. Salah satu caranya adalah dengan belajar di MPRK UGM,” pungkasnya, merangkum visi program untuk mencetak agen-agen perdamaian.
Bagi calon mahasiswa yang tertarik, Program MPRK UGM saat ini masih membuka pendaftaran untuk angkatan baru hingga 2 Juli 2025, dengan berbagai jalur beasiswa yang tersedia seperti LPDP, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan Beasiswa Unggulan.
Penulis : Berlian Belasuni



