
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 telah disahkan sejak 2 Januari 2023. KUHP 2023 ini memunculkan banyak gagasan baru termasuk mengenai tindak pidana terhadap kehidupan beragama/berkepercayaan. “Salah satu cita-cita kemerdekaan adalah membentuk KUHP baru yang lebih Indonesia untuk menggantikan KUHP lama yang telah digunakan sejak masa kolonial belanda. Maksudnya adalah karena posisi agama di Indonesia yang sangat penting berbeda dengan di Belanda”, ungkap Dr. Zainal Abidin Bagir pada acara diskusi “Gagasan Baru Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan KUHP 2023” .
Diskusi ini diselenggarakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM) berkolaborasi dengan Indonesian Scholars Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) pada Kamis (27/02) secara luring dan daring melalui saluran Youtube CRCS UGM. Diskusi ini menghadirkan akademisi, penegak hukum, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama memikirkan wawasan kebangsaan kebebasan beragama dan berkepercayaan terutama kaitannya dalam penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Ada dua hal penting yang disoroti pada diskusi ini yaitu mengenai kebenaran dalam KUHP 2023 yang menghapus frasa persoalan penodaan agama dan mengenai adanya legitimasi terhadap kepercayaan yang selama ini telah banyak diperjuangkan oleh masyarakat sipil minoritas. Dalam paparannya, Dr. Zainal menjelaskan bahwa KUHP lama sering digunakan untuk menyasar kelompok minoritas rentan sehingga menyebabkan kekacauan dalam norma dan praktik hukum. Adanya KUHP baru diharapkan dapat mengubah situasi untuk tidak meminggirkan kelompok tertentu dan menjamin hak bagi semua.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wijayanti Eddyono menambahkan bahwa dalam KUHP baru diharapkan dapat menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan dan tidak ada penodaan agama yang terjadi. KUHP baru memposisikan hukum pidana sebagai jalan terakhir setelah adanya edukasi literasi penyelesaian konflik yang adil tanpa meminggirkan minoritas. Beliau menegaskan bahwa hukum pidana dengan HAM merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena hukum pidana berbasis HAM dalam melindungi hak-hak dasar manusia.
“Dalam KUHP baru ada pasal tujuan pemidanaan yang menunjukkan penghargaan terhadap sisi manusia yang bermartabat. Hal ini menjadi dasar penggunaan hukum pidana harus dilakukan secara hati-hati dan kontekstual. Pertimbangan dalam pemidanaan juga dijelaskan indikator-indikatornya pada KUHP baru, sehingga akan memudahkan hakim dalam melihat faktor non-yuridis”, ungkap Sri Wijayanti.
Melihat KUHP baru dari perspektif sebagai hakim, Muji Kartika Rahayu berpesan agar hakim tidak boleh salah dalam membuat keputusan dan dasar argumen harus lengkap. Cara pandang KUHP baru berbeda dengan KUHP lama, dimana tidak ada penodaan agama dan tidak boleh menggunakan relasi kuasa untuk menyasar kelompok minoritas/rentan.
Kata kunci: SDG 4: Pendidikan Berkualitas, SDG 5: Kesetaraan Gender, SDG 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
Penulis: Asti Rahmaningrum