
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), kembali menyelenggarakan acara Wednesday Forum. Kali ini, forum membahas tentang penggambaran makna disabilitas dan agama dalam film-film populer di Indonesia. Forum yang berlangsung pada Rabu (12/03) di Ruang 307, Lantai 3, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, menghadirkan Budi Irawanto, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Doktor Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa.
Dalam kesempatan tersebut, Budi Irawanto mengungkapkan bahwa film memiliki peran besar sebagai refleksi masyarakat. Film tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga dapat membentuk dan memperkuat ideologi, termasuk nilai-nilai agama. “Disabilitas dapat dijelaskan dari berbagai perspektif dan disiplin ilmu. Alasan saya mengangkat topik ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara disabilitas dan agama, khususnya di Indonesia, di mana agama memiliki pengaruh yang kuat dalam mendefinisikan apa yang baik dan buruk,” jelas Budi Irawanto.
Lebih lanjut, Budi Irawanto menganalisis film Hafalan Shalat Delisa (2011), yang menggambarkan kehidupan seorang anak perempuan dengan disabilitas. Melalui analisis film tersebut, Budi Irawanto mengeksplorasi bagaimana isu disabilitas dan agama saling bersinggungan dalam narasi film Indonesia. Ia menjelaskan bahwa representasi disabilitas dalam film dapat memberikan pandangan baru mengenai inklusivitas, serta bagaimana agama dalam film tersebut turut membentuk perspektif masyarakat terhadap kehidupan individu dengan disabilitas.
Dalam Hafalan Shalat Delisa, Budi Irawanto menjelaskan bahwa hubungan rumit antara disabilitas dan agama menghasilkan perspektif yang beragam di kalangan ulama serta dalam berbagai praktik di masyarakat Muslim. Adopsi model medis telah mengarah pada pemahaman disabilitas sebagai tragedi pribadi, yang cenderung mengabaikan berbagai hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas. Selain itu, karakter penyandang disabilitas dalam film sering kali dijadikan contoh moral bagi teman sebayanya atau masyarakat yang tidak mengalami disabilitas. Namun, rasa sakit dan perjuangan mereka seringkali ditutupi dalam representasi film.
Budi Irawanto menyimpulkan bahwa ada sejumlah masalah terkait representasi disabilitas dan agama dalam film yang tidak terlepas dari perspektif agama yang dominan mengenai disabilitas. Wednesday Forum kali ini diharapkan dapat membuka wawasan baru dan memperkaya pemahaman tentang pengaruh media populer terhadap persepsi masyarakat terhadap isu-isu penting seperti disabilitas dan agama.
Penulis: Asti Rahmaningrum