Semester Gasal Tahun Ajaran 2024/2025 telah dimulai, Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan Wednesday Forum pertama pada semester ini. Kegiatan mingguan ini berfungsi sebagai platform bagi mahasiswa CRCS untuk terlibat dalam diskusi dan pembelajaran dengan berbagai ahli dan aktivis.
Pada Rabu (21/08) Wednesday Forum digelar di Ruang 306, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM dengan mengangkat topik mengenai Ekstremisme Kekerasan di Bima. Bima merupakan kabupaten di Nusa Tenggara Barat yang memiliki sejarah panjang aktivitas ekstremis namun masih kurang diteliti. Narasumber yang hadir kali ini adalah Dyah Ayu Kartika, kandidat doktor dari Australia National University yang juga merupakan seorang peneliti di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, dan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Dalam presentasinya, Dyah mengungkapkan bahwa Bima masuk dalam segitiga emas radikalisme dan ekstremisme di Indonesia. Bima memiliki semua unsur yang diperlukan untuk membentuk kubu ekstremis. Ia berargumen bahwa kelompok ekstremis kekerasan di Bima tidak bisa dipisahkan dari lingkungan radikalnya, setidaknya dalam keyakinan, gagasan, dan tujuan bersama. Kelompok ekstremis di Bima muncul dari lingkungan sosial yang mempunyai perspektif sama.
“Kelompok teroris di Bima berada di dalam lingkungan radikal dan keduanya berada dalam lingkungan sosial politik yang lebih luas. Kelompok teroris akan melakukan dan sepakat menggunakan kekerasan terhadap negara, sementara kelompok radikal strukturnya lebih terbuka dan anggotanya membatasi aktivitas mereka pada bentuk protes militan. Pelemparan bom molotov masih dianggap militan, bukan kekerasan sehingga kekerasan berarti bom yang lebih besar atau penggunaan senjata”, jelas Dyah.
Peserta forum terlibat aktif dalam sesi tanya jawab dan diskusi. Sesi ini berlangsung interaktif dan menggali pemahaman lebih dalam tentang ekstrimisme kekerasan di Bima dibandingkan dengan apa yang terjadi di daerah lain.
Sebagai kesimpulan, Dyah menekankan pentingnya memahami dan menghargai berbagai keberagaman budaya yang berperan signifikan dalam resolusi konflik dan mengurangi diskriminasi sehingga dapat meredakan esktrimisme kekerasan di Bima. “Kami melihat semakin banyak inisiatif pembangunan perdamaian untuk meredakan ketegangan di Bima, tidak hanya dari pemerintah namun juga dari tokoh masyarakat.” tutup Dyah.
Penulis: Asti Rahmaningrum