Oleh: Dian
Pada tanggal 24 April 2024 lalu telah terlaksana kegiatan “Raboan” secara daring yang diadakan oleh Center of Bioethics and Medical Humanities (CBMH) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini berisi sesi sharing dan tanya jawab mengenai “Resiliensi: Tantangan Pembentukan Karakter pada Pendidikan Bioetika Humaniora di Institusi Pendidikan Kesehatan” dengan narasumber Ibu dr. Hikmah Muktamiroh, MmedEd, SpKKLP, SubspCOPC.
Menurut dr. Hikmah, Resiliensi merupakan proses dan hasil dari keberhasilan adaptasi terhadap pengalaman hidup yang sulit dan menantang melalui fleksibilitas mental dan emosional. Pengalaman tersebut dapat berupa tuntutan eksternal atau internal seseorang. Resiliensi ini sangat dekat dengan kemanusiaan, terutama terkait berbagai dinamika politik, sosial, dan budaya. Pada skala institusi pendidikan, kehidupan mahasiswa sebagai civitas akademika juga termasuk dalam konteks resiliensi ini. Contohnya saja seperti pasca pandemi COVID-19, terdapat dampak signifikan terhadap dinamika mahasiswa seperti penunggakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selain itu, di sisi lain tim kemahasiswaan disibukkan dalam penyediaan beasiswa untuk mahasiswa yang kehilangan penanggungjawab ekonominya akibat pandemi. Hal inilah yang menjadikan resiliensi institusi penting untuk dibahas lebih lanjut.
Selain ada pada dimensi pribadi, resiliensi juga menyangkut resiliensi online, keluarga, institusi, dan akademik. Berdasarkan peta kajian resiliensi, penelitian oleh Masten pada tahun 1989 menunjukkan bahwa terdapat kelompok siswa yang mengalami gangguan mental, namun ternyata ada sebagian kelompok kontras yang memilii resiliensi yang sangat baik sehingga dilakukan pengkajian lebih lanjut pada kelompok tersebut. Hingga saat ini, penelitian mengenai resiliensi sudah sangat banyak, namun masih terbuka peluang untuk mempelajari resiliensi terutama pada berbagai dimensi lainnya, misanya resiliensi manajemen waktu, psikologis, relasi, motivasi internal, dan lain sebagainya.
Resiliensi akademik setidaknya membutuhkan dukungan dalam bentuk 7C (confidence, competence, connection, character, contribution, coping, dan control). Mahasiswa harus memiliki kemampuan terhadap kekuatan dan kemampuan dirinya, mengetahui bahwa Ia mampu untuk mengatasi kesulitan, memiliki jaringan pendukung melalui lingkungan yang menciptakan rasa aman, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai yang baik, mengetahui bahwa Ia memiliki kontribusi positif terhadap orang lain, dan mampu mengelola stres. Ketujuh dukungan ini diharapkan dapat diimplementasikan sehingga resiliensi dapat tercapai dengan baik. Resiliensi yang baik ketika berdinamika menjadi mahasiswa diharapkan dapat menunjang kemampuan resiliensi ketika berada di dunia kerja nantinya.
Resiliensi mahasiswa penting dibangun di tingkatan institusi, terutama di tingkat program studi. Meskipun resiliensi mahasiswa pada tingkat S1 memang lebih ditekankan, namun tidak menutup kemungkinan peningkatan resiliensi di tingkat S2 dan S3. Resiliensi ini dapat dibentuk melalui suasana belajar yang kondusif, support system yang baik, value visi misi yang berkeadilan, adanya perwalian, fasilitas konseling, dan akan lebih baik lagi jika ada pihak yang fokus terhadap personal behavior mahasiswa. Menurut dr. Hikmah pada sesi tanya jawab, sebaiknya mahasiswa memiliki lingkungan teman yang positif untuk menjadi support system sekaligus “ring 1” sebagai orang terdekat yang dapat andil dalam mengawasi kondisi psikologis mahasiswa. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh program studi untuk dapat secara aktif melakukan monitoring personal behavior.
Bioetik dan humaniora juga memegang peran penting dalam tercapainya resiliensi ini. Menurut dr. Hikmah, bioetik dan humaniora lebih berperan dalam tindakan preventif, misalnya dengan pengamatan resiliensi mahasiswa melalui tindakan evaluasi dan observasi, contohnya dengan cara pengisian form tanggapan personal antar mahasiswa. Berdasarkan form tersebut dapat dilakukan observasi bagaimana perspektif personal antara mahasiswa 1 terhadap mahasiswa yang lain. Pendekatan metode observasi lain juga dapat dilakukan melalui tutor mahasiswa, misalnya dengan pembuatan laporan berisi narasi kondisi psikologis mahasiswa ketika praktikum berlangsung.
Pada akhir sesi diskusi, dr. Hikmah menyampaikan bahwa “tantangan resiliensi ini ketika dapat diolah dengan baik maka dapat kita jadikan peluang untuk memperkuat institusi pendidikan”. Resiliensi yang baik pada civitas akademika diharapkan mampu menciptakan ekosistem pendidikan yang berkualitas, tidak hanya pada mahasiswa, namun juga pada tenaga pendidik. Hal ini sekaligus selaras dengan SDGs poin ke-4 yaitu mengenai penyediaan layanan pedidikan yang berkualitas.