Yogyakarta, 24 November 2025 — Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, kembali mengadakan diskusi akademik seputar isu media, gender, dan seksualitas. Pada sesi pertama bertajuk “Interseksionalitas Identitas Gender”, Dr. Arifah Rahmawati, M.A. hadir sebagai narasumber utama dan memaparkan bagaimana konsep identitas dan gender dipahami dalam perspektif budaya, sosial, serta politik kontemporer.
Dalam paparannya, Dr. Arifah menjelaskan bahwa identitas merupakan kumpulan kategori sosial yang melekat pada individu dan membentuk bagaimana seseorang dipersepsikan di masyarakat. Gender, sebagai salah satu dimensi identitas, bukanlah sifat alamiah yang statis, melainkan konstruksi sosial yang terus berkembang melalui praktik budaya, kebijakan, dan norma sosial. Peran serta ekspresi gender dapat berubah mengikuti ruang, waktu, serta struktur sosial yang melingkupinya.
Lebih lanjut, diskusi ini menekankan bahwa pengalaman terkait gender tidak dapat dipahami secara tunggal. Konsep interseksionalitas dipakai untuk menerangkan bagaimana gender berpotongan dengan kelas sosial ekonomi, ras, etnisitas, usia, agama, disabilitas, maupun kategori identitas lainnya. Persimpangan identitas tersebut menciptakan pengalaman hidup yang unik, sehingga tidak ada satu pun kelompok—baik perempuan, laki-laki, maupun individu non-biner—yang dapat direpresentasikan secara general.
Dr. Arifah juga menggarisbawahi bagaimana ketimpangan gender kerap dipertahankan melalui stereotipe, bias gender, dan praktik buta gender dalam kebijakan publik. Ketika masyarakat atau pembuat kebijakan menganggap pengalaman gender bersifat universal, keputusan yang dihasilkan cenderung bias dan berpotensi meminggirkan kelompok tertentu. Dampaknya tidak hanya pada akses dan partisipasi, tetapi juga pada kesenjangan manfaat pembangunan yang diterima kelompok sosial yang berbeda.
Untuk itu, ia menegaskan perlunya pendekatan sensitif gender, responsif gender, dan berperspektif gender dalam merancang kebijakan, program, serta strategi pembangunan. Pendekatan tersebut memastikan bahwa keragaman pengalaman gender dikenali, diakomodasi, sekaligus ditangani secara adil sehingga setiap kelompok dapat memperoleh manfaat yang setara.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa memahami gender secara integratif dan berbasis interseksionalitas merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Kesetaraan gender bukan sekadar persoalan relasi laki-laki dan perempuan, tetapi juga menyangkut dinamika identitas lain yang memengaruhi pengalaman individu dalam struktur sosial. Pendekatan interseksional dianggap sebagai kunci untuk menghapus ketidakadilan, memperluas partisipasi, serta memastikan pembangunan yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Melalui sesi diskusi ini, KBM UGM kembali menegaskan komitmennya dalam menyediakan ruang akademik yang kritis, progresif, dan sensitif terhadap berbagai isu kemanusiaan, terutama yang terkait identitas, gender, dan keadilan sosial.
Penulis: Khoirul Mujazanah

