Yogyakarta, 27 November 2025 — Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, melanjutkan rangkaian diskusi bertema media, gender, dan seksualitas melalui sesi kedua dengan topik “Dimensi Gender dalam Kekerasan dan Perdamaian.” Sesi ini kembali menghadirkan Dr. Arifah Rahmawati, M.A. sebagai pembicara, yang menekankan pentingnya memahami relasi antara gender, kekerasan, dan upaya membangun perdamaian berkelanjutan.
Dalam pemaparan awal, Dr. Arifah menjelaskan bahwa gender bukan sekadar perbedaan biologis, tetapi merupakan sistem kekuasaan yang mengatur akses individu terhadap otoritas, sumber daya, dan peluang sosial. Sistem ini bekerja melalui tiga aspek utama: identitas dan peran gender, makna simbolis seperti representasi visual dalam budaya, serta struktur institusional yang sering kali menguntungkan kelompok tertentu. Stereotip pekerjaan—seperti anggapan bahwa dokter adalah laki-laki dan perawat adalah perempuan—menjadi contoh bagaimana norma sosial mempengaruhi pembagian peran dalam masyarakat.
Lebih jauh, Dr. Arifah memaparkan bahwa kekerasan hadir dalam berbagai bentuk. Selain kekerasan langsung yang bersifat fisik atau verbal, terdapat juga kekerasan struktural yang tertanam dalam kebijakan, institusi, serta sistem sosial, dan kekerasan kultural yang dilegitimasi oleh nilai atau kepercayaan masyarakat. Merujuk pada pemikiran Johan Galtung, kekerasan terjadi ketika suatu kelompok mengalami pembatasan yang menghalangi mereka mencapai potensi kemanusiaannya secara penuh.
Salah satu manifestasi paling nyata dari ketimpangan gender adalah kekerasan berbasis gender (Gender-Based Violence/GBV). Bentuknya mencakup kekerasan fisik, emosional, dan seksual, pernikahan paksa atau dini, serta pembatasan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Meski dapat dialami oleh semua gender, perempuan dan anak perempuan tetap menjadi kelompok yang paling rentan. GBV tidak hanya meninggalkan dampak fisik dan psikologis bagi korban, tetapi juga mempengaruhi stabilitas sosial dan kesejahteraan keluarga.
Dalam konteks perdamaian, Dr. Arifah menekankan perbedaan antara perdamaian negatif (ketiadaan konflik atau perang) dan perdamaian positif, yaitu kondisi yang ditandai oleh keadilan sosial, pemenuhan hak asasi, serta kesejahteraan masyarakat. Perdamaian sejati hanya dapat tercapai apabila kekerasan dalam berbagai bentuknya—termasuk yang berakar pada ketimpangan gender—dihilangkan.
Ia juga menyampaikan bahwa budaya damai harus ditopang oleh nilai dan perilaku yang menolak kekerasan serta menghormati martabat setiap individu. Upaya menciptakan perdamaian tidak dapat berhasil tanpa pelibatan kelompok yang selama ini terpinggirkan, terutama perempuan, dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Melalui sesi ini, Program Studi KBM UGM menegaskan kembali perannya dalam membangun ruang akademik yang kritis dan sensitif terhadap isu-isu kesetaraan gender dan keadilan sosial. Diskusi ini juga memperluas pemahaman mahasiswa mengenai bagaimana struktur sosial mempengaruhi kekerasan dan bagaimana perspektif gender dapat memperkuat agenda perdamaian di tingkat lokal maupun global.
Penulis: Khoirul Mujazanah
Tag SDGs: SDG 5 – Gender Equality; SDG 16 – Peace, Justice, and Strong Institutions; SDG 10 – Reduced Inequalities

