Yogyakarta, 10 Oktober 2025 – Program Studi Magister Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, menyelenggarakan Sharing Session riset bertajuk “When Music Goes Viral: How Does Online Backlash Impact Garam & Madu’s Singers and Indonesia’s Policy Playbook?” dengan narasumber Aurelia Putri Rifito, S.Ikom., M.Sc., CELTA. Kegiatan ini berlangsung pada Jumat, 10 Oktober 2025, pukul 13.00–16.00 WIB di Ruang Sidang A Lantai 5, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM Unit 1.
Acara ini diikuti oleh mahasiswa program studi Kajian Budaya dan Media serta sivitas akademika yang memiliki ketertarikan pada kajian budaya digital, industri kreatif, dan tata kelola platform. Melalui kegiatan ini, peserta diajak mendalami fenomena viralitas di media digital serta dampaknya terhadap pekerja kreatif di Indonesia.
Aurelia Putri Rifito merupakan lulusan Master of Science in Creative Industries and Cultural Policy dari University of Glasgow. Selain aktif meneliti isu-isu kebudayaan digital, ia memiliki pengalaman di bidang komunikasi, pengembangan konten, dan pengajaran bahasa, serta telah mengantongi sertifikasi CELTA. Pengalamannya mencakup kepemimpinan dalam komunitas mahasiswa Indonesia di Glasgow dan keterlibatan dalam pengembangan kapasitas kreator. Kehadirannya dalam forum ini diharapkan dapat memberikan perspektif segar mengenai ekosistem viralitas dan implikasinya terhadap pekerja kreatif.
Dalam paparannya, Aurelia menyoroti dinamika ketika musik dan figur seniman tiba-tiba meroket di ruang digital, namun kemudian menghadapi arus balik berupa kritik keras, cibiran, hingga serangan personal. Studi kasus berfokus pada penyanyi lagu “Garam & Madu”, menelusuri bagaimana gelombang penolakan warganet mempengaruhi eksposur, peluang kerja, serta kesejahteraan afektif para pelaku. Melalui pendekatan kualitatif—wawancara semi-terstruktur dengan tiga partisipan dan analisis tematik berbasis codebook—penelitian ini memberikan gambaran bernuansa tentang biaya sosial-emosional dari popularitas instan.
Temuan utama menunjukkan adanya paradoks ambivalen visibility: di satu sisi, viralitas memperluas jangkauan promosi, namun di sisi lain meningkatkan tekanan psikologis dan risiko reputasi secara signifikan. Penelitian ini juga menyoroti peran mediasi budaya—seperti norma rasa malu dan tuntutan permintaan maaf publik—yang sering kali memperkuat siklus backlash. Strategi bertahan seniman cenderung terindividualisasi, mulai dari “ketahanan performatif” dan penghindaran media sosial hingga mengandalkan dukungan lingkar terdekat, sementara dukungan kelembagaan dari platform dan pemangku kepentingan industri masih minim.
Sebagai respon atas temuan tersebut, Aurelia menawarkan rekomendasi berbasis kerangka harm-reduction. Di tingkat kebijakan budaya, diperlukan layanan dukungan kesehatan mental, hotline respons cepat bagi kreator, serta penguatan jejaring komunitas peduli (care network) untuk mencegah isolasi. Di tingkat platform, moderasi konten perlu dilakukan dengan lebih peka terhadap konteks budaya dan disertai mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan transparan. Sementara di tingkat industri, dibutuhkan protokol penanganan kontroversi, diversifikasi sumber pendapatan, dukungan komunikasi krisis, serta akses bantuan hukum yang terjangkau. Seluruh rekomendasi diarahkan untuk menjaga keselamatan, martabat, dan keberlanjutan karier pekerja kreatif di era digital.
Melalui forum ini, prodi berharap diskusi lintas disiplin tentang budaya digital dapat memperkaya wacana akademik sekaligus memperkuat praktik kebijakan di Indonesia. Partisipasi aktif peserta dalam sesi tanya jawab dan jejaring diharapkan menjadi langkah nyata untuk mendorong perlindungan dan pemberdayaan bagi para pekerja kreatif di tengah dinamika budaya viralitas.
Penulis: Khoirul Mujazanah


