Pada tanggal 09 Oktober 2024, Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan Wednesday Forum di Ruang Kelas 306, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Tema forum kali ini berfokus pada isu monokultur dan kekerasan yang dihadapi oleh komunitas Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Narasumber pada kegiatan ini adalah Gilang Mahadika, seorang peneliti yang sedang menempuh studi magister di Departemen Antropologi UGM.
Dalam penjelasannya, Mahadika menjelaskan bahwa komunitas Dayak Benuaq telah hidup berdampingan dengan perusahaan kelapa sawit London Sumatra (Lonsum) sejak tahun 1996. Namun, ketegangan meningkat akibat perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, yang mendorong komunitas untuk melakukan protes dan demonstrasi. “Pada tahun 199, komunitas Dayak Benuaq mendirikan belontakng (totem Dayak Benuaq) sebagai kenangan atas kekerasan, ketakutan, dan ancaman yang beredar di antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan selama konflik”, ungkap Mahadika.
Menurut Mahadika, kekerasan sejarah ini telah meninggalkan bekas mendalam pada komunitas Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kekerasan ini memiliki dampak yang mendalam pada identitas individu dan kolektif, serta kesadaran komunitas. Kelapa sawit menjadi ilustrasi konkret bahwa menanam pohon tidak selalu merupakan praktik yang baik, terutama ketika pohon-pohon tersebut semuanya sama. Alih-alih berkontribusi pada reforestasi, ekspansi perkebunan kelapa sawit justru menghilangkan keberagaman hutan dan secara perlahan merusak area sekitarnya. Akibatnya, perkebunan kelapa sawit yang besar menghasilkan spiral kekerasan, tidak hanya terhadap alam tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak memiliki pilihan selain hidup bersamanya.
Forum ini juga membahas implikasi lebih luas dari eksploitasi semacam itu terhadap pendidikan dan pengembangan komunitas. Komunitas Dayak Benuaq, yang sering kali terpinggirkan dan dirugikan, menghadapi diskriminasi yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan dan sumber daya yang berkualitas. Kurangnya kesempatan pendidikan ini memperpetuasi siklus kemiskinan dan eksploitasi, sehingga menyulitkan komunitas untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan melestarikan budaya mereka.
Lebih jauh lagi, diskusi ini menekankan pentingnya kesetaraan dan perlunya memerangi diskriminasi terhadap masyarakat adat. Perjuangan komunitas Dayak Benuaq bukan hanya tentang hak atas tanah; ini juga tentang pelestarian budaya dan hak untuk hidup selaras dengan lingkungan mereka. Eksploitasi tanah mereka oleh perusahaan kelapa sawit mengancam tidak hanya mata pencaharian mereka tetapi juga identitas budaya mereka.
Penulis: Asti Rahmaningrum