• Tentang UGM
  • Simaster
  • Perpustakaan
  • IT Center
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Tentang Kami
    • Posisi
    • Keunggulan
    • Struktur Organisasi
    • Layanan dan Fasilitas
    • Kehidupan Kampus
    • Kontak
  • PPID
    • Informasi Publik
      • Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan secara Berkala
      • Informasi Tersedia Setiap Saat
      • Daftar Informasi Dikecualikan
    • Layanan Informasi
      • Alur dan Prosedur Permohonan Informasi
      • Alur dan Prosedur Pengajuan Keberatan atas Informasi
      • Prosedur dan Tatacara Penyelesaian Sengketa
      • Maklumat Pelayanan Informasi Publik
  • Akademik
    • Pengumuman
    • Dokumen Akademik
    • Kalender Akademik
  • Admisi
    • Program Studi
    • Beasiswa
    • Syarat Pendaftaran
    • Prosedur Pendaftaran
    • Biaya Pendidikan (UKT)
    • Registrasi
  • Kegiatan
    • Agenda
    • Berita
    • Penelitian
    • Pengabdian Masyarakat
  • Survei Layanan
  • Beranda
  • Berita
  • Prodi CRCS Gelar Wednesday Forum Bahas Monokultur dan Kekerasan Komunitas Dayak Benuaq

Prodi CRCS Gelar Wednesday Forum Bahas Monokultur dan Kekerasan Komunitas Dayak Benuaq

  • Berita
  • 16 Oktober 2024, 09.03
  • Oleh: pudji_w
  • 0

Pada tanggal 09 Oktober 2024, Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan Wednesday Forum di Ruang Kelas 306, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Tema forum kali ini berfokus pada isu monokultur dan kekerasan yang dihadapi oleh komunitas Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Narasumber pada kegiatan ini adalah Gilang Mahadika, seorang peneliti yang sedang menempuh studi magister di Departemen Antropologi UGM.

Dalam penjelasannya, Mahadika menjelaskan bahwa komunitas Dayak Benuaq telah hidup berdampingan dengan perusahaan kelapa sawit London Sumatra (Lonsum) sejak tahun 1996. Namun, ketegangan meningkat akibat perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, yang mendorong komunitas untuk melakukan protes dan demonstrasi. “Pada tahun 199, komunitas Dayak Benuaq mendirikan belontakng (totem Dayak Benuaq) sebagai kenangan atas kekerasan, ketakutan, dan ancaman yang beredar di antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan selama konflik”, ungkap Mahadika.

Menurut Mahadika, kekerasan sejarah ini telah meninggalkan bekas mendalam pada komunitas Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kekerasan ini memiliki dampak yang mendalam pada identitas individu dan kolektif, serta kesadaran komunitas. Kelapa sawit menjadi ilustrasi konkret bahwa menanam pohon tidak selalu merupakan praktik yang baik, terutama ketika pohon-pohon tersebut semuanya sama. Alih-alih berkontribusi pada reforestasi, ekspansi perkebunan kelapa sawit justru menghilangkan keberagaman hutan dan secara perlahan merusak area sekitarnya. Akibatnya, perkebunan kelapa sawit yang besar menghasilkan spiral kekerasan, tidak hanya terhadap alam tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak memiliki pilihan selain hidup bersamanya.

Forum ini juga membahas implikasi lebih luas dari eksploitasi semacam itu terhadap pendidikan dan pengembangan komunitas. Komunitas Dayak Benuaq, yang sering kali terpinggirkan dan dirugikan, menghadapi diskriminasi yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan dan sumber daya yang berkualitas. Kurangnya kesempatan pendidikan ini memperpetuasi siklus kemiskinan dan eksploitasi, sehingga menyulitkan komunitas untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan melestarikan budaya mereka.

Lebih jauh lagi, diskusi ini menekankan pentingnya kesetaraan dan perlunya memerangi diskriminasi terhadap masyarakat adat. Perjuangan komunitas Dayak Benuaq bukan hanya tentang hak atas tanah; ini juga tentang pelestarian budaya dan hak untuk hidup selaras dengan lingkungan mereka. Eksploitasi tanah mereka oleh perusahaan kelapa sawit mengancam tidak hanya mata pencaharian mereka tetapi juga identitas budaya mereka.

Penulis: Asti Rahmaningrum

Tags: diskriminasi eksploitasi keragaman budaya kesetaraan Pendidikan pengembangan komunitas SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan SDG 11: Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan SDG 4: Pendidikan Berkualitas SDG 5: Kesetaraan Gender

Recent Posts

  • Konsinyering Kerja Sama JTTS : Finalisasi Hasil Temuan Penelitian Langkah Pengambilan Kebijakan Berkelanjutan di Sumatera
  • SPs UGM Kuatkan Tridharma Pariwisata: Prodi Doktor Kajian Pariwisata Perluas STO dan Luncurkan Buku “Manajemen Pengunjung”
  • Mahasiswa S2-S3 Ilmu Ketahanan Nasional SPs UGM Ikuti Bootcamp Penguatan Tesis dan Disertasi
  • Prof. Armaidy Armawi Paparkan Astropolitik dan Ketahanan Nasional pada Senastindo VII AAU 2025
  • Prodi S3 Kependudukan dan BRIN Tinjau Arah Penelitian Strategis, Perkuat Kerja Sama Bidang Kolaborasi Riset
Universitas Gadjah Mada
Sekolah Pascasarjana
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Teknika Utara, Pogung, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55284
Telp. (0274) 544975, 564239
Email : sps@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju