Dua Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya (ALB) Sekolah Pascasarjana UGM, Astrid Syifa Salsabila dan Ningsih Sepniar Lumban Toruan serta dua Dosen ALB Prof. Fatimah Husein dan Dr. Iqbal Ahnaf mengikuti Summer School di Austria pada 27 Juli hingga 2 Agustus 2024.
Tulisan berikut merupakan pengalaman selama mengikuti kegiatan Summer School tersebut yang dituangkan oleh Ningsih Sepniar Lumban Toruan.
Lebih dari seminggu aku dan teman menghabiskan waktu di Austria, tepatnya di kota Salzburg untuk mengikuti Summer School. Ini adalah tahun ke-3 kelas ini diadakan, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, Prodi ini juga membawa mahasiswa dari Indonesia, tepatnya dari Prodi Center of Religious and Cross-cultural Studies atau Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM.
Tahun ini topik dari Kelas adalah, ‘Religion, Violence and Peacebuilding’, topik yang tidak asing karena di CRCS ada satu mata kuliah dengan judul yang mirip. Meskipun mirip, belajar haruslah terus dilakukan, bukan sesuatu yang selesai.
Pertama kali menginjakkan kaki di Austria, kota ini terlihat persis seperti di film-film. Itulah kesan pertamaku. Hari pertama, acara dibuka oleh 4 mahasiswa yang melantunkan lagu dengan bentuk ansambel dengan suara yang sangat enak didengar. Tidak heran, karena Salzburg adalah kota kelahiran Mozart, musisi terkenal dan masih dipuji hingga kini. Karenanya, banyak hal diasosiasikan dengan mozart di kota ini. Mulai dari kafe, coklat, museum, dlsb.
Bagan 1 Kegiatan dibuka dengan a capella oleh mahasiswa
Di kelas, suasananya kondusif. Summer School kali ini menghadirkan dosen-dosen dari berbagai negara yang fokus dengan kasus-kasus konflik di negara masing-masing. Di mana konflik kerap bertaut dan berkait kelindan dengan agama. Ada dari Kenya, Korea, Israel, dan tidak lupa, dari Indonesia yaitu Prof. Fatimah Husein dan Dr. Muhammad Iqbal Ahnaf. Prof Fatimah membawakan topik tentang praktek-praktek interreligious dialogue di Indonesia sebagai cara untuk turut serta menjaga perdamaian, mengingat konteks Indonesia sebagai negara yang sangat beragam. Dr. Iqbal menyampaikan persoalan penting bagaimana konsep siege mentality dialami oleh kelompok tertentu dan menjadi sebab kekerasan dimobilisasi. Dr. Iqbal menyampaikan konteks Indonesia sebagai satu diantara negara dengan penduduk Muslim yang besar.
Tidak kalah berharga, peserta dari kegiatan ini banyak merupakan mahasiswa PhD dari berbagai negara yang juga sedang menulis dengan topik terkait agama dan kekerasan. Mereka berbagi tentang riset yang sedang mereka lakukan. Hasil dari itu bisa direfleksikan dalam konteks di Indonesia, dan apakah metode yang mereka gunakan juga tetap bisa digunakan dalam riset.
Bagan 2 Dr. M. Iqbal Ahnaf yang menyampaikan Siege Mentality
Ini adalah pengalaman yang kaya. Ilmu diperoleh bukan sekedar dari kelas. Kegiatan ini juga melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang bisa menambah refleksi peserta terhadap kekerasan agama. Saya mengunjungi Stolperstein, berupa karya seni sebagai ‘batu peringatan’ yang bertuliskan nama-nama korban kekerasan Nazi yang dipasang di jalan-jalan di kota Salzburg. Ada banyak diskusi dan pro kontra terhadap karya seni ini, tetapi dari refleksi saya, saya melihat bahwa satu di antara fungsinya adalah agar orang yang melihatnya mengingat dampak buruk dari adanya kekerasan bagi kemanusiaan.
Dalam waktu yang singkat ini, saya mendatangi 3 kota yang berbeda yaitu Vienna, Salzburg, dan Gras. Sebagai mahasiswa Agama dan Lintas Budaya, kami berkunjung ke masjid di Vienna, berbagai gereja klasik dan bersejarah, Sinagog, juga Buddhist center di negara dengan penduduk mayoritas Katolik ini.
Kegiatan ini juga selaras dengan pelaksanaan SDGs Nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas, Nomor 17 tentang Kerjasama untuk mencapai tujuan.
Penulis : Ningsih Sepniar Lumban Toruan
Editor : Arni Wistratun