Jogja (22/5) Bencana adalah multidisiplin, maka kajian resiko tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang memiliki satu latar belakang pendidikan yang sama. Dengan pola pendekatan scientific dan practice ditambah dengan training, maka akan membuat kita ready merespon kapanpun dalam keadaan apapun.
Diperlukan penyusunan ahli sertifikasi ahli kebencanaan, karena dari tahun 2009, penyusunan kajian risiko bencana, naskah akademik dsb tidak, tidak ada satupun yang memiliki sertifikasi.
Hal ini disampaikan oleh Ridwan Yunus, konsultan Inaris BNPB dalam pertemuan koordinasi Inisiasi Perumusan Sertifikasi Profesi Kebencanaan yang dilaksanakan oleh Prodi Magister Manajemen Bencana (MMB) Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM bekerjasama dengan Himpunan Pendidikan Tinggi Kebencanaan (HIPTI Bencana) di Hotel Manohara, Jogjakarta, Selasa, 21 Mei 2024.
Pertemuan yang dihadiri oleh Kaprodi-kaprodi bidang Bencana, BNPB, AIBI dan para pemangku kepentingan terkait, dan dimoderatori oleh Dr. Arif Wibowo dari Universitas Budi Luhur Jakarta ini diharapkan akan menghasilkan outcome yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat.
Menurut Prof. Dr Syamsul Maarif, M.Si, Ketua Dewan Pembina HIPTI Bencana, yang turut hadir dalam acara ini, ada 3 tingkatan sertifikasi yaitu Sertifikasi operator, untuk industri, pertambangan untuk bencana oleh perbuatan manusia non alam, Sertifikasi koordinator untuk shelter/pengungsian yaitu kelompok rentan, sanitasi, makanan dsb dan sertifikasi manajer, contoh untuk manajer shelter, manajer pabrik.
Prof. Samsul Maarif juga menyampaikan perlunya spesifikasi keahlian yang termuat dalam sertifikasi, tidak termasuk keahlian penanggulangan perang, teroris, konflik SARA, juga perlu mendefinisikan kembali terkait pengertian bencana, contoh cyber security dimasukkan kemana.
Senada dengan Prof. Samsul Maarif, Prof. Dr. Sudjito dari MMB UGM juga menyampaikan sertifikasi perlu memperdalam objek secara khusus, tidak dibatasi hanya untuk bencana alam saja, siapa yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan sertifikasi, apa yang menjadi ukuran untuk sertifikasi, siapa yang menjadi pengguna sertifikat dan perlu prioritas kepada kelompok-kelompok tertentu.
Selain itu Prof. Sudjito juga menyampaikan agar tidak menyempitkan pola pikir bahwa bencana hanya bencana alam, dan pentingnya legalisasi secara hukum karena hanya dapat diakui jika badan hukumnya sudah sah.
Berkenaan dengan UU 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana dalam tahap pra bencana, saat bencana dan pasca bencana, Prof. Sudjito mengkritisi masih adanya bencana politik,malpraktek, bencana hukum bencana akibat narkoba dsb yang belum masuk dalam UU tsb.
Kegiatan ini juga selaras dengan implementasi SDGs Nomor 17 tentang Partnership for the goals.
Penulis : Arni Wistriatun
Editor : Ana Anggraini