Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan kuliah lapangan dengan tema “Pengelolaan Ekowisata Berbasis Potensi Alam, Sosial Budaya, dan Masyarakat.” Kegiatan ini merupakan bagian dalam mata kuliah Manajemen Ekowisata Semester Genap Tahun Akademik 2023/2024 yang dilaksanakan selama dua hari pada 7 Mei 2024 bertempat di Taman Nasional Gunung Merapi, serta pada 14 Mei 2024 bertempat di Desa Wisata Kalibiru dan Desa Wisata Jatimulyo, Kulon Progo.
Siti Nurul Rofiqo Irwan, S.P., M.Agr., Ph.D. selaku koordinator pengampu mata kuliah menyampaikan bahwa kuliah lapangan ini bertujuan untuk mengenal implementasi dan praktik nyata pengelolaan manajemen ekowisata. Dengan mengikuti kegiatan ini, mahasiswa diharapkan dapat mempelajari secara nyata bagaimana mengelola pariwisata dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dalam kegiatan ini, para mahasiswa belajar secara langsung dari praktisi industri pariwisata. Salah satu sesi materi disampaikan oleh Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi, M. Wahyudi, S.P., M.Sc. Dalam penyampaiannya, Wahyudi menjelaskan bahwa Taman Nasional Gunung Merapi dibagi menjadi tujuh zona yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona religi, budaya dan sejarah (ZBS), dan zona khusus. Kawasan yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkannya ada perubahan meliputi pengurangan, penghilangan fungsi, dan penambahan jenis tumbuhan serta satwa lain yang tidak asli merupakan bagian dari zona inti. Sedangkan, wilayah yang dapat dikelola untuk pariwisata alam termasuk ke dalam zona pemanfaatan. Contoh kawasan untuk zona tersebut adalah objek wisata Telaga Muncar dan Plunyon Kalikuning.
Selain kedua zona tersebut, juga terdapat zona tradisional di mana masyarakat dapat memanfaatkan area ini untuk kepentingan pemanfaatan tradisional yang secara turun temurun mempunyai ketergantungan pada sumber daya alam.
Tidak hanya eksplorasi alam di kawasan gunung merapi, tetapi para mahasiswa juga diajak untuk melakukan studi lapangan di kawasan Desa Wisata Kalibiru dan Jatimulyo Kulon Progo. Kalibiru merupakan objek wisata yang terkenal dengan keindahan alamnya, perpaduan antara hamparan hutan, deretan perbukitan Menoreh, dan pemandangan waduk Sermo yang dapat dinikmati dari puncak Kalibiru. Selain daya tarik alam, desa wisata ini juga menawarkan edukasi produksi gula jawa, wedang uwuh, dan krumpyung serta edukasi gamelan jawa dengan menjalin kerja sama yang baik dengan masyarakat setempat.
Tidak jauh dari Kalibiru, para mahasiswa kemudian melanjutkan kuliah lapangan di Desa Jatimulyo. Dalam sesi ini, Kelik Suparno selaku perwakilan dari divisi Konservasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi berbagi pengalamannya dalam pengelolaan desa wisata ini yang berfokus pada ekowisata burung. Kelik menjelaskan bahwa desanya melalui proses panjang untuk menjadi desa ramah burung. Pada awalnya, perburuan burung sangat marak terjadi di Jatimulyo hingga pada tahun 2011, Komunitas Peduli Menoreh menginisiasi program edukasi konservasi burung kepada generasi muda di Pedukuhan Sokomoyo. Lebih lanjut, Kelik menuturkan bahwa untuk mewujudkan desa wisata seperti sekarang, telah banyak dilakukan dialog dengan tujuan untuk menciptakan kesadaran masyarakat sekitar.
Kuliah lapangan ini diikuti dengan antusias oleh para mahasiswa yang didampingi oleh para dosen pengampu mata kuliah. Selanjutnya, para mahasiswa diberikan tugas kelompok untuk menyusun makalah sesuai dengan pembelajaran yang mereka dapatkan dalam kegiatan ini.
Kata Kunci: Kuliah Lapangan; Ekowisata; Desa Wisata; Taman Nasional Gunung Merapi; Kalibiru; Jatimulyo; Kulon Progo; Pengelolaan SDGs 4 Pendidikan Berkualitas
Penulis: Muthia Nur Arifah
Editor: