Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar Wednesday Forum dengan tema menarik, “Negosiasi Identitas Keagamaan Hibrid Komunitas Buddha Jawa di Jatimulyo” pada Rabu (06/10) di Ruang Kelas 306, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Diskusi kali ini menghadirkan pembicara Candra Dvi Jayanti dari Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra.
Candra berbagi pengalamannya sebagai seorang Buddha dan orang jawa mengenai bagaimana masyarakat Jatimulyo mulai menjalankan ajaran agama buddha dan membangun jati diri jawa buddha. Jatimulyo merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Nanggulan, Kulon Progo. Masyarakat Jatimulyo masih menjalani dan percaya dengan tradisi kejawen. Sejarah munculnya agama Buddha di Jatimulyo bermula dari Mbah Slamet yang mengajarkan ilmu keslametan dari Banyuwangi. Mbah Slamet menyebarluaskan ajaran ini kepada masyarakat Jatimulyo untuk memeluk agama baru yaitu buddha pada tahun 1940an.
Dalam paparannya, Candra menjelaskan bahwa ajaran dari Mbah Slamet menjadi landasan yang kuat dan sebagai budaya kehidupan bagi masyarakat Jatimulyo.“Masyarakat Buddha Jatimulyo merekonstruksi praktik keagamaan jawa sebagai ruang adaptasi dan negosiasi seperti ruwahan yang disebut sebagai pattigana dalam agama buddha. Pattigana ini bermakna seperti halnya sembahyang untuk mengenang dan menghormati jasa para leluhur”, ungkap Candra.
Candra juga memaparkan penemuan tradisi baru dengan sebutan Tribuana Manggala Bhakti sebagai konsepsi buddha jawa di Jatimulyo. Hal ini bermakna sebagai penghormatan kepada tiga elemen alam yaitu air, cahaya, dan udara. “Masyarakat Jatimulyo di Kulon Progo sangat dekat dengan alam, menurut mereka untuk merawat alam perlu diwadahi oleh agama”, jelas Candra.
Pentingnya menjaga keberagaman budaya dan kesetaraan dalam kehidupan beragama ini disepakati sebagai modal sosial yang akan terus memperkaya identitas masyarakat di Jatimulyo dan sekitarnya. Diskusi ini diakhiri dengan harapan bahwa proses negosiasi identitas keagamaan yang hibrid ini dapat terus berkembang dan menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia yang juga memiliki keberagaman budaya yang kaya.
Penulis: Asti Rahmaningrum