Bantul, 4 Desember 2024 – Mahasiswa Program Magister Manajemen Bencana Universitas Gadjah Mada (MMB UGM) melaksanakan kuliah lapangan dalam mata kuliah Sosiologi Bencana di dua lokasi di Kabupaten Bantul, yakni Dusun Semampir, Kalurahan Panjangrejo, Kapanewon Pundong, dan Dusun Plumbungan, Kalurahan Sumbermulyo, Kapanewon Bambanglipuro. Kegiatan ini dipimpin oleh Dr. Ir. Dina Ruslanjari, M.Si., Kepala Program Studi MMB UGM, dengan tujuan menggali data primer melalui observasi dan wawancara mendalam untuk memahami dinamika sosial masyarakat di tengah bencana.
Sebanyak 12 mahasiswa yang terdiri dari angkatan genap 2023 dan gasal 2024 berangkat dari Sekolah Pascasarjana UGM pukul 08.30 menggunakan tiga mobil. Setibanya di Dusun Semampir pukul 09.30, mereka dibagi menjadi tiga kelompok untuk melakukan wawancara dengan warga setempat.
Kondisi Dusun Semampir: Kampung Gerabah yang Terancam Punah
Dusun Semampir dikenal sebagai sentra pembuatan gerabah yang memanfaatkan bahan baku lokal, seperti tanah liat dari Gunung Kidul, pasir dari Pantai Depok, dan tanah dari sawah warga. Proses pembuatan gerabah melibatkan pencampuran tanah sawah dengan pasir, dilanjutkan penggilingan, pembentukan menggunakan putaran, pengeringan, penambahan lempung dari Gunung Kidul, dan pembakaran selama dua jam menggunakan kayu yang ditutup jerami.
Namun, menurut Bu Eko, salah satu pengrajin gerabah yang menjadi narasumber, produksi gerabah saat ini mengalami penurunan drastis. “Dulu kami bisa menjual hingga 2.000 unit per minggu. Sekarang, maksimal hanya 100 unit, bahkan beberapa bulan terakhir tidak ada penjualan sama sekali,” ujarnya. Penurunan ini disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang menurun dan keterbatasan saluran penjualan yang hanya bergantung pada Wonosari.
Puncak permintaan gerabah terjadi saat pascagempa Bantul dan masa pandemi COVID-19. Satu cobek kecil saat itu dihargai Rp1.500 per unit dengan harga yang ditentukan langsung oleh pengrajin. Namun kini, usaha gerabah terancam punah karena generasi muda memilih bekerja di sektor lain, seperti di pabrik atau berdagang di Pantai Depok.
Selain tantangan ekonomi, Dusun Semampir juga menghadapi ancaman bencana. Pada tahun 2019, banjir Kali Winongo menghambat proses produksi gerabah, ditambah musim hujan yang membuat hasil produksi sulit dijemur. “Saat produksi berhenti, saya bergantung pada bantuan anak-anak untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Bu Eko. Lebih lanjut, Bu Eko juga mengungkapkan adanya kasus kesehatan seperti flek dan infeksi saluran pernapasan yang dialami anak-anak di dusun ini akibat paparan asap dari proses pembakaran gerabah.
Kampung Anggur Dusun Plumbungan: Potensi yang Belum Maksimal
Setelah menyelesaikan kunjungan di Dusun Semampir, rombongan melanjutkan perjalanan ke Dusun Plumbungan pukul 11.30. Dusun ini dikenal sebagai Kampung Anggur yang dimulai sejak tahun 2016 atas prakarsa Pak Rio dan dikembangkan oleh kelompok Ibu PKK. Awalnya, mayoritas warga adalah buruh tani dan pabrik, namun kini hampir setiap rumah memiliki budidaya anggur.
Menurut Bu Bardi, salah satu warga yang diwawancarai, Kampung Anggur sempat mencapai masa puncak sebelum pandemi COVID-19, dengan banyak liputan media dan kunjungan wisatawan. Namun, pandemi mengurangi minat wisatawan sehingga harga bibit anggur yang sebelumnya berkisar Rp150 ribu hingga Rp1,5 juta kini mengalami penurunan. Selain itu, warga belum memiliki keterampilan memadai dalam mempromosikan Kampung Anggur melalui media sosial.
“Penghasilan utama kami berasal dari wisatawan yang membeli bibit dan buah anggur di rumah-rumah warga, namun saat ini wisatawan jauh berkurang,” kata Bu Bardi. Efek cuaca juga menjadi tantangan besar, di mana hujan berturut-turut menyebabkan buah anggur menjadi busuk, terutama bagi kebun yang tidak memiliki atap transparan.
Meskipun anggur adalah usaha sampingan, Kampung Anggur berperan penting dalam ketahanan pangan masyarakat. Daun anggur diolah menjadi sayur dan keripik, sementara limbah organik seperti buah gagal panen dijadikan ekoenzim untuk pupuk dan masker wajah. “Kami juga saling bekerja sama dalam pembibitan dan penjualan, sering kali saling menitipkan produk jika ada yang kesulitan menjual sendiri,” tambah Bu Bardi.
Tujuan dan Harapan Kuliah Lapangan
Kuliah lapangan ini diharapkan mampu memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa untuk memahami dinamika sosial masyarakat dalam menghadapi bencana serta tantangan ekonomi yang ada. “Melalui kegiatan ini, mahasiswa dapat melatih keterampilan wawancara dan observasi, sekaligus melihat langsung bagaimana bencana berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat,” ungkap Dr. Dina Ruslanjari.
Sebagai tindak lanjut, mahasiswa diwajibkan menyusun laporan hasil observasi dan mempresentasikannya di kelas untuk mengevaluasi pemahaman mereka terhadap isu-isu sosial yang berhubungan dengan bencana.
Penulis: M.Irfan Nurdiansyah, Pri Juwandi, Firli Yogiteten Sunaryoko