
Bantul, 11 Maret 2025 – Mahasiswa dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS dan ICRS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada melakukan kunjungan edukatif ke Bumi Langit Institute, sebuah pusat permakultur yang berlokasi di kawasan Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Kegiatan ini merupakan bagian dari pembelajaran Religion and Ecology serta Interreligious Dialogue. Awalnya, kunjungan ini dirancang sebagai tindak lanjut dari undangan pihak Bumi Langit kepada Dr. Zainal Abidin Bagir untuk menjadi narasumber dalam acara podcast bertema agama dan lingkungan hidup. Gagasan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah site visit bersama mahasiswa, yang disambut hangat oleh tim Bumi Langit.
Selama kunjungan, mahasiswa diperkenalkan dengan konsep permakultur, sistem regeneratif lanskap, pengelolaan air, serta berbagai tanaman lokal yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga diajak untuk melihat langsung praktik berkelanjutan yang diterapkan di kawasan Bumi Langit, termasuk sistem pengolahan limbah organik dan penggunaan energi terbarukan.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan tur kebun yang dipandu oleh tim Bumi Langit, dilanjutkan dengan sesi podshow interaktif yang mengangkat tema “Agama dan Lingkungan Hidup”, dan ditutup dengan acara buka bersama. Meskipun hujan cukup lebat saat talk show berlangsung, peserta tetap antusias mengikuti kegiatan hingga akhir.
Salah satu peserta, Novita dari CRCS UGM, mengungkapkan kekagumannya atas praktik berkelanjutan di Bumi Langit. “Saya melihat bagaimana ruang digunakan sangat efektif. Orang-orang di Bumi Langit bisa hidup mandiri. Saya juga belajar bahwa limbah bisa diolah menjadi sesuatu yang berguna, seperti energi atau pupuk,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan orang beragama dalam isu lingkungan, “Karena lingkungan bukan bagian terpisah dari kehidupan beragama kita.”
Sementara itu, Johanes Marno Nigha dari ICRS UGM memberikan refleksi mendalam yang menunjukkan keterhubungan antara ekologi, spiritualitas, dan kurikulum yang sedang ia pelajari, khususnya dalam mata kuliah Interreligious Dialogue: Theories and Practices. Ia menekankan bagaimana praktik permakultur di Bumi Langit mencerminkan kearifan lokal seperti sistem Subak di Bali yang sarat dengan nilai tanggung jawab kolektif terhadap alam.
Menurut Johanes, panduan dari Tantra salah satu anggota Bumi Langit sangat mengesankan karena tak hanya menunjukkan elemen fisik, tetapi juga memfasilitasi pengalaman reflektif dan spiritual atas unsur-unsur dasar kehidupan. “Saya merasa seperti memasuki arsip hidup: setiap aliran air, tanah humus, dan sistem energi di Bumi Langit tidak sekadar artefak, tapi jejak pengetahuan dan spiritualitas yang hidup,” ungkapnya.
Ia juga menyadari bagaimana konsep ‘kesederhanaan’ dalam hidup berdampingan dengan alam menjadi jembatan menuju nilai-nilai lintas agama yang universal. “Saya menyantap makanan yang saya tahu dari mana ia berasal. Ada kesadaran bahwa selama ini saya hidup di dunia yang memandang pangan semata-mata sebagai komoditas. Di Bumi Langit, saya belajar bahwa makan tidak selalu harus dengan membeli, tetapi dengan merawat,” tutupnya.
Kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan yang memperkaya pemahaman mahasiswa tentang bagaimana praktik keagamaan dan ekologis bisa saling menguatkan. Melalui dialog lintas iman dan pengalaman langsung, mahasiswa diajak untuk memahami bahwa keberlanjutan lingkungan bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga spiritual dan etis.
Penulis : Yeti Susilowati