Oleh: Isradina Paricha
Yogyakarta, 11–12 Oktober 2025 – Mahasiswa Program Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR), Sekolah Pascasarjana UGM, kembali menghadirkan belajar lintas ruang dan disiplin melalui kegiatan kuliah lapangan (Kurlap) di Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 yang mengusung tema Adoh Ratu Cedhak Watu, bertempat di Logandeng, Playen, Gunungkidul. Kegiatan ini menjadi wadah pertemuan antara teori dan praktek, sekaligus ajang perayaan kebudayaan, seni, dan keberlanjutan yang selaras dengan semangat akademik UGM.
Kegiatan ini merupakan integrasi dari beberapa mata kuliah inti PSPSR, seperti Manajemen Lembaga dan Pengembangan Event, Seni dan Kebijakan, Seni dan Pariwisata, serta Teori-Teori Pergelaran. Melalui pendekatan lintas mata kuliah ini, mahasiswa diajak untuk memahami praktek kesenian dan penyelenggaraan kebudayaan bekerja dalam konteks nyata, mulai dari perencanaan, produksi, hingga partisipasi komunitas lokal.
Rombongan mahasiswa dari Angkatan Genap 2024 dan Gasal 2025, bersama para dosen pengampu dan staf akademik PSPSR, berangkat dari Sekolah Pascasarjana UGM pada Sabtu siang (11/10). Suasana antusias terasa sejak awal perjalanan, ketika diskusi-diskusi ringan tentang seni dan kebudayaan mulai mengalir di dalam bus menuju Gunungkidul. Sesampainya di Lapangan Logandeng, mahasiswa disambut oleh suasana festival yang meriah namun hangat: jajaran tenda komunitas, pameran karya, dan denting gamelan yang berpadu dengan hiruk pikuk warga.
Sorotan utama hari pertama adalah pertemuan dan diskusi bersama ABDW Art Project, seniman komisi FKY 2025 yang menampilkan karya instalasi bertajuk “Sumur Tiban”. Karya tersebut menghadirkan visualisasi sumur dan rumah penadah air, simbol yang dekat dengan kehidupan masyarakat Logandeng dan sebagai medium refleksi atas relasi manusia, air, dan ruang hidup. Mahasiswa PSPSR terlibat aktif dalam dialog, menggali gagasan di balik karya, serta menafsirkan ulang melalui perspektif teori seni yang dipelajari di kelas.
Selain diskusi, mahasiswa juga melakukan observasi di Pasaraya Adat FKY, sebuah ruang ekonomi budaya yang mempertemukan kuliner lokal, kerajinan tradisional, dan ekspresi komunitas. Mereka mencicipi makanan khas Gunungkidul, menyaksikan pembacaan weton, dan menikmati pertunjukan campursari di bawah cahaya lampu festival. Salah satu momen berkesan adalah pertemuan dengan kelompok ibu-ibu kolaborator Pawon Hajat Khasiat, yang menginisiasi dapur komunitas sebagai ruang berbagi cerita, resep, dan nilai-nilai lokal. Dari pertemuan ini, mahasiswa belajar bagaimana kreativitas komunitas dapat menjadi bagian dari pembangunan kebudayaan yang berkelanjutan. Selain itu, mahasiswa juga menyaksikan Pawai Rajakaya, sebuah pawai kolaboratif yang melibatkan 14 kolaborator. Keunikan pawai ini terletak pada keterlibatan hewan ternak milik masyarakat Gunungkidul, yang dirawat dengan penuh perhatian sebagai aset berharga dan simbol kedekatan manusia dengan alam. Hewan ternak berhias ubo rampe dan kupat gantung diarak bersama peternak dan warga, menandai harmoni antara manusia, hewan, dan alam. Tradisi agraris ini menemukan kehidupan baru dalam konteks festival masa kini.
Hari kedua (12/10) dilanjutkan dengan kunjungan ke House of Menep, ruang seni dan residensi yang juga terlibat dalam perhelatan FKY. Suasana diskusi berlangsung santai namun reflektif, ditemani sarapan pagi dan teh hangat, mahasiswa berdialog langsung dengan seniman dan pengelola festival mengenai strategi kurasi, dinamika kerja budaya, serta tantangan mengelola kegiatan seni di tingkat lokal. Melalui interaksi ini, teori-teori yang selama ini dipelajari di ruang kelas menemukan bentuk konkretnya: seni sebagai ruang perjumpaan sosial, ekonomi, dan politik.
Kegiatan kuliah lapangan PSPSR UGM ini tidak hanya menjadi wahana pembelajaran kontekstual, tetapi juga bentuk nyata kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dari sisi SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), pengalaman langsung di lapangan memperkaya proses belajar mahasiswa secara transformatif, melampaui batas kelas formal. Sementara dari SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), interaksi dengan pelaku seni dan ekonomi kreatif lokal memperlihatkan potensi pariwisata berkelanjutan yang berakar pada budaya. Tak kalah penting, kegiatan ini turut mendukung SDG 11 (Kota dan Permukiman Berkelanjutan), dengan menegaskan pentingnya pelestarian warisan budaya dan partisipasi komunitas dalam membangun ruang hidup yang inklusif.
Lebih dari sekadar agenda akademik, kuliah lapangan PSPSR UGM di FKY 2025 menjadi ruang pertemuan gagasan, rasa, dan pengalaman. Mahasiswa tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga bagian dari ekosistem kebudayaan yang hidup dengan berinteraksi, berdialog, dan merefleksikan kembali makna seni dalam konteks sosial yang lebih luas. Kegiatan ini sekaligus menegaskan komitmen PSPSR UGM dalam melahirkan lulusan yang peka terhadap realitas kebudayaan, memiliki daya analisis kritis, serta berperan aktif dalam menggerakkan praktik seni dan keberlanjutan di Indonesia

