
Yogyakarta, 11 November 2025 — Sesi talkshow bertajuk “Women and Strategic Leadership: Experience, Policy, and Impact” dalam rangkaian Leadership Day 2025 yang di selenggarakan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (SPs UGM) melalui program Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (MDKIK) bersama Keluarga Alumni Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (Kapimgama) menghadirkan dua sosok perempuan inspiratif: Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA., Wakil Rektor UGM, dan Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara. Sesi ini menghadirkan refleksi mendalam mengenai pengalaman, kebijakan, dan dampak nyata kepemimpinan perempuan dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif.
Moderator membuka diskusi dengan mengaitkan visi Indonesia Emas 2045 serta pentingnya kontribusi kepemimpinan perempuan dalam mewujudkannya. Menanggapi hal tersebut, Prof. Wening menegaskan bahwa kepemimpinan menjadi bermakna ketika berangkat dari kesadaran terhadap ketimpangan sosial dan visi inklusivitas. “Kepemimpinan menjadi penting ketika kita paham posisi yang jelas terhadap disparitas masyarakat kita dengan visi dan misi inklusivitas,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa semangat inklusivitas tersebut juga tercermin dalam berbagai kebijakan UGM, seperti penanganan kekerasan seksual, dukungan terhadap mahasiswa penyandang disabilitas, dan kebijakan afirmatif bagi mahasiswa dari berbagai daerah. “UGM adalah pionir dalam kebijakan inklusif, baik dalam penanganan kekerasan seksual, disabilitas, maupun penerimaan mahasiswa melalui afirmasi. Semua itu berangkat dari nilai bahwa kampus harus menjadi ruang bagi siapapun untuk tumbuh,” tambahnya.
Sementara itu, Sherly Tjoanda menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah soal kekuasaan atau suara yang paling keras, melainkan kemampuan mendengar dan memahami kebutuhan masyarakat. “Kepemimpinan bukan soal suara yang paling kencang, tapi yang mendengar, menyelesaikan masalah, dan memahami kebutuhan masyarakat,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa empati merupakan inti dari kepemimpinan yang mampu menghasilkan kebijakan inovatif dan menumbuhkan kepercayaan publik. “Emphatic leadership adalah yang utama dalam mewujudkannya. Empati menghasilkan kebijakan yang inovatif, sehingga muncul kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Wening menambahkan bahwa empati perempuan tidak sekadar sifat bawaan, melainkan hasil dari pengalaman dan ekosistem yang membentuknya. “Empati perempuan bukan sekadar sifat alami, tetapi terbentuk karena lingkungan dan pengalaman yang berulang. Jadi ini persoalan ekosistem — bagaimana kita membangun empati bersama,” jelasnya.
Diskusi juga menyinggung tentang pentingnya pengakuan terhadap gerakan perempuan dan bagaimana partisipasi laki-laki menjadi bagian penting dalam perjuangan kesetaraan. Prof. Wening menyoroti bahwa sejak abad ke-19 gerakan perempuan telah berlangsung, namun pengakuan sosial dan dukungan kolektif baru berkembang di gelombang ketiga dan keempat. “Gerakan perempuan sudah ada sejak lama, tapi pengakuan terhadapnya baru datang belakangan. Karena itu, gerakan ini perlu mengajak laki-laki ikut serta agar meluas dan tidak eksklusif,” ungkapnya.
Sherly menambahkan bahwa perempuan tidak perlu menunggu ruang kepemimpinan disediakan, melainkan harus berani menciptakan ruangnya sendiri. “Tidak perlu menunggu ruang untuk disediakan — kita harus menciptakan ruang itu. Kepemimpinan perempuan bukan kompetisi dengan laki-laki, tapi tentang keseimbangan. Di mana pun kita berada, kita bisa memimpin dan memberi dampak,” tuturnya.
Sesi berlangsung hangat ketika Sherly membagikan kisah pribadinya dalam memimpin dengan gaya yang khas sebagai seorang ibu. “Saya memimpin dengan cara saya sebagai ibu — mendengar cerita, memberi nasihat, dan mencari solusi. Sebagai perempuan, kita tidak perlu menjadi seperti laki-laki. Kita bisa lembut tapi tetap tegas,” katanya.
Menutup sesi, Prof. Wening menegaskan pentingnya rekognisi terhadap pengalaman perempuan dalam kepemimpinan, karena setiap kisah dan proses yang dijalani perempuan memiliki nilai pembelajaran yang besar. “Pengalaman perempuan sering dilewati begitu saja, padahal di situlah nilai pentingnya. Kita perlu memberikan ruang rekognisi agar kisah-kisah itu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya,” pungkasnya.
Sesi talkshow ini menjadi salah satu momen dalam Leadership Day 2025 — menegaskan bahwa empati, inklusivitas, dan keberanian menciptakan ruang adalah inti dari kepemimpinan perempuan. Dari kampus UGM, suara perempuan kembali menggema: bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang otoritas, melainkan tentang kemampuan memahami, mendengar, dan menghadirkan perubahan yang bermakna.
Penulis : Naufal Sabda Auliya dan Rosyida Indah Mawarni
Editor: Arfikah Istari