Pada Rabu, 19 September 2024, Wednesday Forum yang diselenggarakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengangkat bahasan menarik mengenai kedai-kedai kopi Cina di Makassar. Kedai-kedai ini telah menjadi tempat perjumpaan penting bagi individu dari berbagai latar belakang agama dan etnis.
Syamsul Asri, dosen dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), menjadi narasumber dalam acara yang diadakan di Ruang Kelas 307, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Pemaparannya memberikan wawasan tentang pentingnya kedai kopi Cina yang telah beroperasi sejak abad ke-18 di seluruh Makassar. Tempat-tempat ini menarik pengunjung Muslim, terutama dari kelompok etnis Bugis dan Makassar, yang sering datang untuk menikmati kopi sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari mereka.
“Kedai kopi tradisional ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat interaksi sosial, tetapi juga mendorong pertukaran komunitas, kohesi sosial, dan hidup berdampingan antara kelompok mayoritas Muslim non-Cina dan penganut Tionghoa yang beragama Buddha, Konghucu, dan Kristen. Hal ini sangat penting mengingat konteks sejarah pembersihan rasial terhadap warga Tiongkok, yang sering dianggap sebagai orang luar, dengan insiden terakhir terjadi pada tahun 1998 saat jatuhnya rezim Soeharto.”, ujar Syamsul
Syamsul menambahkan tantangan tak terduga yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 juga telah membentuk dinamika hubungan etnis, mendorong komunitas untuk beradaptasi dengan situasi baru secara efektif. Adaptasi ini pada akhirnya menguntungkan mereka yang terlibat dalam transaksi tersebut, memperkuat hipotesis bahwa, terlepas dari pembersihan rasial di masa lalu atau pembatasan kebijakan terkait pandemi saat ini, keharmonisan sosial tetap berhasil dipertahankan antara kelompok pribumi dan komunitas Tionghoa.
Dalam kesimpulannya, salah satu dinamika kunci yang berkontribusi pada keharmonisan ini terletak pada kedai-kedai kopi Cina, yang terus memainkan peran strategis dalam memfasilitasi perjumpaan antara subjek-subjek antaragama dan antaretnis. Tempat-tempat ini telah menjadi penting dalam melawan kebijakan sosial yang memecah belah yang diterapkan oleh pemerintah nasional, terutama selama pandemi COVID-19 yang menciptakan batasan-batasan dalam interaksi sosial.
“Pentingnya kedai kopi Cina di Makassar sebagai ruang vital untuk pertukaran budaya dan keharmonisan sosial. Saat dunia terus berjuang dengan isu-isu ketidaksetaraan dan keragaman budaya, tempat-tempat ini berdiri sebagai bukti kekuatan komunitas dan ketahanan hubungan antarmanusia”, tutup Syamsul.
Penulis: Asti Rahmaningrum