Yogyakarta, 7 November 2025 — Program Studi Kajian Budaya dan Media (KBM), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, menyelenggarakan kuliah tamu bertajuk Human Perception and Digital Information Technologies: Animation, The Body, and Affect. Acara berlangsung di Auditorium lantai 5 pukul 09.00–12.00 WIB, menghadirkan Dr. Tomoko Tamari dari Goldsmiths, University of London.
Dalam paparan sesi pertama, Dr. Tamari mengajak audiens meninjau bagaimana praktik artistik kontemporer memantik pertanyaan tentang dampak bioteknologi dan teknologi digital pada kehidupan manusia. Ia menyorot proyek desain spekulatif (Im)possible Baby karya Ai Hasegawa—yang membayangkan kemungkinan anak dengan keterkaitan genetik bagi pasangan sesama jenis—serta rias 3D futuristik Ines Alpha sebagai contoh “diri digital” yang mudah di aktifkan-nonaktifkan. Perspektif ini dirangkai dengan gagasan teknologi sebagai partisipan aktif dalam kehidupan sosial (Verbeek), otak sebagai “mesin prediksi” (Andy Clark), dan tubuh sebagai medium pengalaman (Merleau‑Ponty). Sorotan tersebut membuka cara pandang baru tentang bagaimana dunia material–digital ikut membentuk tubuh, pikiran, dan relasi kita.
Isu kedekatan digital (digital intimacy) juga mengemuka: bagaimana algoritma, perangkat, dan platform memediasi komunikasi personal sekaligus mempengaruhi cara kita mengambil keputusan sehari‑hari. Di titik ini, Dr. Tamari menekankan pentingnya kewaspadaan etis—bukan sekadar pada apa yang mungkin dilakukan teknologi, tetapi pada dunia seperti apa yang kita bangun bersamanya.
Sesi kedua menyoroti kolaborasi manusia–mesin dalam seni, dengan studi praktik robot menggambar. Melalui kerangka embodiment (Don Ihde) dan model triadic agency (Johnson & Verdicchio), Dr. Tamari menerangkan interaksi tiga agen—seniman sebagai pengguna, programmer sebagai perancang, dan robot sebagai artefak—yang saling mempengaruhi dari perumusan ide hingga performa karya. Contoh yang dibahas antara lain inisiatif FRIDA di Carnegie Mellon University, yang menunjukkan bagaimana konsep artistik diterjemahkan ke bahasa mesin lalu kembali membentuk keputusan estetik seniman.
Diskusi berkembang pada proses trans‑knowledge (pembelajaran keahlian lintas tubuh, alat, dan kode), konsep affordance (Gibson) yang menekankan kesalingterkaitan pelaku dan lingkungan, serta kemungkinan melihat robot sebagai teknologi “extimate”—liyan yang intim: akrab sekaligus asing, cermin diri sekaligus entitas lain. Di sini, robot tampil bukan cuma sebagai alat, melainkan juga material, aparatus visualisasi ide, bahkan pelaku pertunjukan yang menantang ulang batas‑batas definisi seni.
Menutup kuliah, Dr. Tamari mengajak peserta memandang masa depan digital secara reflektif: ketika kita merancang dan hidup bersama teknologi, pada saat yang sama kita tengah merancang ulang tubuh, pikiran, dan masyarakat kita sendiri.
Penulis: Khoirul Mujazanah



