Alunan gending pembuka menyemarakkan perayaan Sedasa Windu Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc., yang diadakan oleh Program Studi Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (SPs UGM). Acara ini digelar di Ruang Auditorium SPs UGM pada Kamis, 10 Oktober 2024 dan menjadi momen penuh kehangatan serta penghormatan terhadap perjalanan panjang Prof. Timbul dalam dunia akademik, seni, dan budaya, dihadiri oleh murid, rekan, dan kolega yang datang untuk memberikan penghargaan.
Dalam sambutannya, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan SDM SPs UGM, Dr. techn. Khabib Mustofa, S.Si., M.Kom., menyampaikan penghargaan mendalam kepada Prof. Timbul. “Beliau bukan hanya seorang akademisi yang luar biasa, tetapi juga sosok yang berperan besar dalam pengembangan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Dedikasi beliau selama ini menjadi teladan yang patut kita apresiasi,” ujarnya.
Kisah hidup Prof. Timbul penuh dengan inspirasi. Lahir pada 5 Oktober 1944 dengan nama Suharno, beliau mengalami mati suri dan sakit-sakitan di masa kecilnya, yang membuat namanya diubah menjadi Timbul Haryono, sesuai kepercayaan Jawa terkait “kabotan jeneng.” Sejak kecil, Prof. Timbul telah menunjukkan minat pada seni, mulai dari musik tradisional hingga pertunjukan wayang kulit. Beliau juga berkiprah sebagai dalang, termasuk mendalang sehari penuh di Jember dan sebanyak empat kali di Amerika Serikat. Atas dedikasinya, Prof. Timbul dianugerahi Satyalancana Kebudayaan oleh pemerintah. Di akhir sambutannya, saat memotong tumpeng, beliau menyampaikan makna filosofis dari tumpeng: “Bagi saya, tumpeng menggambarkan hubungan dengan Sang Pencipta. Memotong tumpeng di tengah artinya memutuskan hubungan dengan Tuhan. Itu sebabnya saya selalu memotong bagian bawah,” tuturnya.
Dr. Sugeng Nugroho, M.Hum., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat ISI Surakarta, mengenang pesan Prof. Timbul saat beliau lulus dari Sekolah Pascasarjana. “Beliau selalu menekankan untuk tetap hidup sederhana, seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk,” ungkapnya. Dr. Sugeng juga menggambarkan Prof. Timbul sebagai sosok yang saleh, sederhana, dan selalu menerima apa adanya dengan lapang dada.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, Manggar Sari Ayuati, S.S., M.A., menambahkan, “Sebagai mahasiswa Prof. Timbul, saya merasa beliau bukan hanya dosen, tetapi juga ‘Bapak’ bagi kami. Tidak hanya membimbing akademik, beliau selalu menjadi tempat berbagi cerita tentang kehidupan.”
Salah satu murid lainnya, Trisna Pradita Putra, yang lahir di tanggal yang sama dengan Prof. Timbul, mengungkapkan kekagumannya terhadap karya dan konsep beliau. “Buku Prof. Timbul tentang arkeologi membuat saya tertarik dengan konsep ‘juru bano,’ pelawak yang dibayar oleh kerajaan. Improviasi panggung seni yang diciptakan Prof. Timbul sangat menginspirasi saya dalam karier komedi saya,” ujar Trisna.
Kebahagiaan acara ini semakin lengkap dengan pertunjukan “Lawak Double S” yang dibawakan oleh Bu Susi dan putranya, Trisna Pradita, yang pernah menjadi rekan Prof. Timbul dalam pertunjukan “Lembayung.” Selain itu, buku berjudul Sekar Sinebar juga diluncurkan dalam acara tersebut. Buku ini berisi perjalanan hidup Prof. Timbul dan komitmen para muridnya untuk terus melanjutkan ajaran serta potensi yang diwariskan oleh beliau.
Acara Sedasa Windu ini menjadi momen istimewa yang memadukan elemen akademik, seni, dan penghormatan terhadap dedikasi luar biasa Prof. Timbul Haryono dalam menginspirasi banyak orang.
Penulis: Arfikah Istari