Jakarta, 18 Mei 2025 — Kebijakan digital bukan hanya produk teknologi, tetapi juga hasil dari konstruksi paradigma administratif yang terus berkembang. Hal ini menjadi fokus utama dalam diskusi kuliah lapangan kelas kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang diselenggarakan pada 16-17 Mei 2025 di Jakarta. Para peserta mengkaji lebih dalam bagaimana desain kebijakan digital Komdigi merefleksikan pergeseran paradigma dalam ilmu administrasi publik.
Diskusi yang difasilitasi oleh Prof. Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si, para peserta diajak menelaah lebih dalam transisi paradigma dalam desain kebijakan digital. Dari pendekatan Old Public Administration (OPA)—yang kental dengan karakteristik prosedural, birokratis, dan hirarkis—menuju pendekatan New Public Management (NPM) yang lebih menekankan efisiensi, orientasi hasil, dan pendekatan pasar.
“Kebijakan digital hari ini tidak cukup hanya berbasis prosedur dan kontrol birokrasi. Ia menuntut pendekatan yang lebih manajerial dan berbasis hasil. Pendekatan NPM menuntut pemerintah untuk bersikap lebih adaptif, efisien, dan hasil-akhir oriented,” jelas Prof. Hadna.
Salah satu momen menarik adalah Ketika membahas kebijakan tata kelola spektrum frekuensi radio sebagai contoh konkret perubahan paradigma administrasi publik. Dalam kerangka OPA, spektrum frekuensi dikuasai penuh oleh negara dan dikelola secara sentralistik untuk kepentingan umum. Namun dalam paradigma NPM, spektrum tersebut telah dikomodifikasi, diberi nilai ekonomi, dan dapat diperdagangkan secara legal melalui mekanisme pasar yang diatur dalam kerangka regulasi transparan.
Perubahan ini mencerminkan pergeseran peran negara, dari semata-mata sebagai administrator, menjadi regulator dan fasilitator pasar digital, yang harus mampu menciptakan kerangka kebijakan yang fleksibel, akuntabel, dan berbasis data.
“Pendekatan NPM dalam kebijakan Teknologi Informasi dan Komunikasi memungkinkan terjadinya efisiensi dan inovasi, tetapi juga menuntut tata kelola yang kuat agar tidak kehilangan arah pelayanan publik,” ungkap salah satu mahasiswa dalam sesi diskusi.
Diskusi menjadi semakin menarik, karena para mahasiswa tidak hanya mendengarkan namun juga menyampaikan pandangan kritisnya.
“Ini adalah contoh bagaimana pendekatan manajerial terhadap aset publik diterapkan. Negara bukan lagi pengendali tunggal, tetapi pencipta ekosistem,” ujar salah satu peserta lainnya.
Kuliah lapangan ini menjadi wadah strategis bagi para pejabat dan akademisi di lingkungan Komdigi untuk mengintegrasikan teori administrasi publik dengan praktik kebijakan digital, sekaligus memperkuat kesadaran kritis terhadap dinamika perubahan yang terjadi dalam birokrasi digital Indonesia.
Penulis: Vivie Silvania Intan Nirmala

