
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), berkolaborasi dengan Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) menyelenggarakan Forum Kamisan Daring (FKD) 2025 sebagai ruang dialog virtual yang inklusif bagi masyarakat adat dan penghayat kepercayaan.
Mengusung tema besar Demokrasi dan Lingkungan, FKD 2025 memfasilitasi diskusi mengenai isu-isu strategis seperti agama leluhur dan budaya, perempuan, lingkungan, kebijakan hukum, serta pendidikan. Salah satu sesi dalam rangkaian kegiatan ini diselenggarakan pada Kamis (26/6) dengan tajuk “Menyambut 1 Suro: Narasi Penghayat Muda di Tengah Mayoritarianisme”.
Sesi ini menghadirkan dua narasumber muda dari komunitas penghayat kepercayaan dan kampung adat: Oksafira dari Gema Pakti/Hangudi Bawana Tata dan Alit dari Kampung Adat Anak Rawa Penyengat, Provinsi Riau. Mereka membagikan pengalaman dan refleksi atas posisi generasi muda penghayat dalam menghadapi tekanan mayoritarianisme di berbagai ruang kehidupan sosial.
“Selama ini belum ada pengakuan terhadap keberadaan penghayat kepercayaan, kami belum bisa mencatatkan identitas kepercayaan di dokumen kependudukan dan belum bisa melangsungkan pernikahan adat yang diakui pemerintah”, ujar Alit. Alit menegaskan ingin memperjuangkan agar keberadaan penghayat dapat diakui di tengah tekanan modernisasi dan dominasi budaya mayoritas.
Oksafira menambahkan, “Ada beberapa kelompok mayoritas yang masih menghargai komunitas penghayat dan kami terus berupaya untuk melestarikan ajaran leluhur yang ada sejak kecil agar sampai kepada cucu kita.”
Diskusi ini juga menghadirkan penanggap dari kalangan jurnalis, Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk). Dalam komentarnya, Tantowi menyoroti masih kurangnya representasi komunitas penghayat di media arus utama.
“Media masih kerap mengabaikan narasi dari kelompok minoritas, termasuk penghayat. Ini menjadi tantangan sekaligus panggilan bagi jurnalis untuk lebih adil dalam menyuarakan keberagaman,” ungkap Tantowi. Terdapat pula tantangan yang dihadapi dalam pengakuan masyarakat adat yaitu belum adanya kebijakan hukum yang diakomodir oleh negara.
Kegiatan yang dipandu oleh Afkar Aristoteles, mahasiswa CRCS angkatan 2024, berlangsung secara interaktif. Peserta turut memberikan tanggapan dan pertanyaan yang memperkaya diskusi. Forum Kamisan Daring menjadi wadah penting untuk membangun kesadaran publik mengenai keberagaman keyakinan dan praktik budaya di Indonesia, sekaligus mendorong dialog yang konstruktif untuk memperkuat demokrasi yang inklusif.
Penulis: Asti Rahmaningrum