Yogyakarta, 14 November 2025 – Kesiapsiagaan bencana bukan hanya soal tumpukan logistik dan barak pengungsian, tetapi tentang bagaimana membangun sebuah sistem yang berpihak pada semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Pelajaran inilah yang diserap oleh mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Bencana (MMB) saat melaksanakan kuliah lapangan yang mengunjungi Kampung Siaga Bencana (KSB) Kelurahan Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Kunjungan yang merupakan bagian dari mata kuliah Sosiologi Bencana dan Pemberdayaan Masyarakat diampu oleh Prof. Dr. Dina Ruslanjari ini menyoroti bagaimana KSB Umbulharjo, yang merupakan KSB kedua yang terbentuk di DIY, tidak hanya fokus pada manajemen logistik, tetapi memiliki visi besar untuk mewujudkan Kelurahan Umbulharjo yang inklusif. Pendekatan humanis KSB Umbulharjo terlihat jelas dari komitmen mereka dalam menyiapkan sarana dan prasarana yang ramah bagi semua kelompok rentan. “Kami sedang membangun barak inklusi,” ungkap salah satu pengurus KSB. Barak ini mempunyai berbagai Fasilitas seperti RAM (jalur landai) telah tersedia. Kamar mandi pun dirancang dekat dengan barak, menggunakan pintu geser, toilet duduk, dan pintu lebar agar sepenuhnya ramah disabilitas.
Visi inklusivitas ini tidak berhenti di situ. KSB Umbulharjo juga merancang pengaturan khusus untuk pemenuhan gizi bayi, batita, dan balita saat di pengungsian. Bahkan, KSB juga pernah menampung kelompok rentan seperti komunitas waria (beneser) dan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) di barak mereka, sebelum akhirnya ditarik oleh Dinas Sosial untuk penanganan lebih lanjut di Rusunawa. Rencana jangka panjang mereka pun telah tersusun, dengan target membentuk Puskesmas Inklusif pada tahun 2026. Keunggulan utama KSB Umbulharjo adalah kepemilikan lumbung logistik yang dikelola secara mandiri, berbeda dengan Destana yang umumnya tidak memiliki lumbung. Lumbung yang telah ada sejak 2015 ini tidak hanya berisi logistik vital seperti beras, mie instan, roti, dan kecap, tetapi juga telah tersentuh digitalisasi. “Lumbung sudah digitalisasi sehingga bisa melihat stok barang,” jelas pengurus. Manajemen lumbung ini menunjukkan profesionalisme yang luar biasa, mulai dari pemantauan Gunung Merapi melalui CCTV live dari BPTKG, perhitungan logistik yang didasarkan pada jumlah warga di Kawasan Rawan Bencana (KRB) jarak 5 km dan 7 km, hingga manajemen kadaluwarsa yang cerdas. Jika ada logistik yang mendekati masa expire, barang tersebut tidak dibuang, melainkan disalurkan ke masyarakat tidak mampu atau digunakan untuk kegiatan sosial. Mereka juga menghadapi tantangan klasik seperti beras yang rawan kutu dan mie instan yang rawan digerogoti tikus. Namun, solusinya sudah disiapkan: beras yang berkutu akan digiling ulang, dan Indomie disimpan dalam wadah logam besar yang aman dari tikus.
Di balik sistem yang berjalan baik ini, ada para relawan tangguh yang mendedikasikan waktu dan tenaganya. Para relawan ini, yang tergabung dalam KSB (di bawah naungan Dinas Sosial) dan Destana (di bawah BPBD), seringkali adalah orang yang sama untuk memudahkan koordinasi. Dedikasi mereka murni untuk kemanusiaan. “Tidak ada honor, hanya ada bantuan transport dan konsumsi saat ditugaskan,” ungkap pengurus. Meskipun tanpa gaji, KSB memiliki anggaran operasional relawan dan anggaran darurat yang bersumber dari kelurahan. Untuk memastikan kesiapsiagaan, KSB Umbulharjo secara rutin melakukan pelatihan, sosialisasi, dan simulasi pada masa pra-bencana. Kunjungan mahasiswa Magister Manajemen Bencana ini menunjukkan bahwa KSB Umbulharjo bukan sekadar kelompok siaga, melainkan sebuah model pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan inklusivitas, profesionalisme, dan ketulusan hati para relawannya.
Dari kegiatan lapangan ini, para mahasiswa Magister Manajemen Bencana memperoleh pemahaman bahwa pengelolaan bencana tidak hanya bergantung pada sistem formal pemerintah, tetapi juga pada kekuatan sosial dan nilai kemanusiaan di tingkat komunitas. Mereka belajar bahwa inklusivitas dalam penanggulangan bencana bukan sekadar konsep, melainkan prinsip yang harus diwujudkan melalui desain ruang, kebijakan lokal, hingga perilaku keseharian masyarakat. Pendekatan partisipatif yang diterapkan oleh KSB Umbulharjo menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kepemimpinan kolaboratif dan komunikasi lintas pihak dalam membangun ketangguhan komunitas. Melalui dialog dengan relawan dan pengurus KSB, mahasiswa juga menyadari bahwa keberlanjutan sistem siaga bencana terletak pada kemandirian, kreativitas, dan rasa memiliki masyarakat terhadap inisiatif yang mereka bangun sendiri.
Penulis: Berlian Belasuni

