Gunungkidul, 04 Juni 2025 – Krisis air bersih dan ancaman terhadap ketahanan pangan kini menjadi persoalan global yang semakin mendesak. Perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan peningkatan populasi memicu keterbatasan akses air layak konsumsi dan pangan yang cukup terutama di wilayah rentan seperti Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tim pengabdian masyarakat UGM yang terdiri dari dosen Program Studi Magister Manajemen Bencana (MMB) Sekolah Pascasarjana UGM yaitu Dr. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc. dan Dr. Dina Ruslanjari, M.Si., bersama mahasiswa diantaranya Muhammad Irfan Nurdiansyah, Nabilla Auriel Fajarian, dan Silfani, melaksanakan program penguatan ketahanan air dan pangan berbasis masyarakat. Pemasangan sistem pemanenan air hujan dilakukan di rumah Bapak Harmoko, warga Dusun Pakel RT 1 RW 2, Kelurahan Tepus, Kapanewon Tepus, Gunungkidul.
Dr. Retnadi, selaku ketua tim pengabdian, menekankan bahwa program ini bukan hanya intervensi teknis, tetapi bagian dari transformasi sosial dan lingkungan. “Kami ingin menunjukkan bahwa solusi terhadap bencana ekologis seperti kekeringan dan krisis pangan tidak harus selalu kompleks. Melalui pemanenan air hujan yang sederhana namun efektif, kita bisa memperkuat resiliensi masyarakat dari bawah,” ujarnya
Kegiatan ini juga melibatkan kolaborasi dengan Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening, yang telah mengembangkan teknologi elektrolisis air hujan agar layak konsumsi. Dalam sesi sosialisasi kepada warga, Sri menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Tepus telah memanen air hujan, tetapi masih secara tradisional dan kurang higienis. “Kami hanya ingin air hujan yang selama ini turun percuma, bisa dikembalikan sebagai sumber kehidupan, layak minum, sehat, dan berkelanjutan,” ucapnya.
Hasil uji TDS (Total Dissolved Solids) menunjukkan air hujan yang telah diproses melalui alat Banyu Bening memiliki TDS hanya 15 ppm, dibandingkan air hujan tampungan tradisional warga (51–59 ppm) dan air PAM lokal (229 ppm). Ini membuktikan bahwa dengan teknologi yang tepat guna, air hujan dapat memenuhi standar Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 dan layak dikonsumsi.
Bagi mahasiswa MMB UGM, program ini menjadi ruang belajar secara langsung tentang implementasi manajemen risiko bencana secara riil. “Kami belajar memahami tantangan riil di lapangan. Di tengah isu global ketahanan pangan dan air, kami melihat sendiri bahwa masyarakat seperti di Gunungkidul butuh dukungan dalam bentuk teknologi sederhana yang bisa mereka kelola sendiri”, ujar Muhammad Irfan Nurdiansyah, pria yang akrab disapa Cak Irfan.
Program ini akan berlanjut hingga akhir tahun 2025 dengan serangkaian pelatihan, monitoring, dan publikasi ilmiah. Dengan semangat keberlanjutan dan replikasi, model ini diharapkan dapat diterapkan di wilayah-wilayah rawan kekeringan lainnya di Indonesia.
Penulis: Silfani, Irfan dan Nabila cs
Editor : Siti Muyasaroh


