Yogyakarta, 14 November 2025 – Perubahan pola pikir adalah inti dari keberhasilan rehabilitasi lingkungan. Ini bukan lagi sekadar menanam pohon untuk memenuhi target tutupan lahan, tetapi menanam harapan untuk panen yang berkelanjutan. Pelajaran berharga inilah yang dipetik mahasiswa Program Studi Magister Pengelolaan Lingkungan (MPL) Sekolah Pascasarjana UGM dalam kuliah lapangan pada Sabtu, 8 November 2025. Kegiatan ini dirancang untuk menjembatani antara teori di ruang kelas dan realitas di lapangan, khususnya untuk mata kuliah Pengelolaan Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Dipandu oleh dosen pengampu, Dr. Muhammad Anggri Setiawan, S.Si., M.Si., para mahasiswa diajak turun langsung untuk melacak jejak ekosistem dari hulu hingga hilir DAS Progo. “Pengelolaan DAS adalah ilmu yang terapan,” jelas Dr. Anggri di sela-sela kegiatan. “Mahasiswa perlu melihat langsung bagaimana kondisi biofisik di hulu, seperti tutupan lahan dan erosi, dapat secara langsung memengaruhi kondisi sosial-ekonomi di hilir. Hari ini kita melakukan itu.”
Perjalanan dimulai di wilayah hulu, tepatnya di Desa Gerbosari (Samigaluh) dan Desa Banjarasri (Kalibawang). Di area perbukitan ini, mahasiswa mengamati dengan saksama lahan-lahan hasil rehabilitasi yang dikelola sebagai bagian dari program kemitraan oleh PT Bharinto Ekatama. Lahan yang tadinya kritis kini tampak menghijau oleh tanaman produktif. Afnan Syah Hananto, salah satu mahasiswa, mengapresiasi pendekatan rehabilitasi yang tidak biasa ini. “Sangat menarik melihat lahan direhabilitasi dengan tanaman produktif. Program ini tidak hanya menanam pohon kayu, tetapi memilih jenis buah bernilai ekonomi tinggi seperti alpukat, durian, dan kelengkeng. Ini membuktikan bahwa perbaikan ekologi bisa berjalan selaras dengan peningkatan ekonomi masyarakat,” ungkap Afnan.
Kunjungan ini tidak hanya sebatas pengamatan fisik. Bagian terpenting adalah interaksi dan wawancara mendalam dengan para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) setempat. Di sinilah para mahasiswa menemukan inti dari pemberdayaan. Kesan mendalam dirasakan Saadah Arum Abiyanti, yang berdialog langsung dengan anggota KTH. Menurutnya, keberhasilan terbesar program ini adalah pergeseran mentalitas. “Yang paling menyentuh adalah mendengar langsung dari petani,” tutur Saadah. “Mereka bercerita, jika sebelumnya cenderung menanam kayu dengan sistem ‘sekali tanam habis’, kini mereka beralih ke tanaman buah musiman. Perubahan ini adalah indikator sukses pemberdayaan, karena masyarakat beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan dan hasilnya berkelanjutan setiap tahun.” Setelah memahami dinamika di hulu, perjalanan dilanjutkan menuju muara di kawasan Jembatan Pandansimo. Di wilayah hilir ini, fokus pengamatan bergeser pada kondisi ekosistem perairan dan pesisir. Mahasiswa melakukan pengamatan terhadap dampak sedimentasi dan kondisi ekosistem mangrove sebagai bentuk evaluasi keterkaitan antara pengelolaan di hulu dan dampaknya di hilir.
“Di sini kami diajak untuk ‘menghubungkan titik-titik’,” ungkap Reviana Fadhilla Choirunnisa, mahasiswa lainnya. “Di hulu kami melihat praktik rehabilitasi yang berhasil, dan di hilir kami mengevaluasi dampaknya pada ekosistem pesisir. Kunjungan ini benar-benar menunjukkan bahwa DAS adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dikelola secara terpisah.” Menutup rangkaian kegiatan, Dr. Anggri Setiawan menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan pengelolaan DAS Progo terletak pada sinergi triple-helix. “Kegiatan ini membuktikan pentingnya sinergi antara sektor swasta yang berkomitmen (PT Bharinto Ekatama), partisipasi aktif masyarakat (KTH), dan dukungan akademisi (UGM) untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang benar-benar berkelanjutan,” pungkasnya.
Penulis : Berlian Belasuni


