
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), berkolaborasi dengan Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) kembali menyelenggarakan Forum Kamisan Daring (FKD) 2025 pada Kamis (03/07) secara virtual melalui Zoom Meeting dan Youtube.
Seri FKD kali ini mengangkat tema “Warisan Leluhur dan Ketahanan Pangan Lokal di Tengah Ancaman Gastrokolonial”. Tema ini mengajak peserta mengajak peserta untuk merefleksikan bentuk kolonialisme baru yang tidak hadir melalui kekerasan bersenjata, melainkan melalui selera makan, produk pangan instan, serta sistem pangan global yang secara perlahan menggeser kedaulatan dan kearifan lokal masyarakat adat.
Hadir sebagai narasumber adalah Lidia Sumbun, perwakilan dari Masyarakat Adat Sungai Utik, yang membagikan praktik komunitasnya dalam menjaga ketahanan pangan berbasis warisan leluhur dan keberlanjutan lingkungan. Menurut Lidia, komunitasnya sejak lama mengutamakan konsumsi dan budidaya tanaman lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
“Kami selalu mengutamakan tanaman lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Tanaman dari pihak luar biasanya tidak bertahan lama. Tanaman lokal memiliki khasiat baik, ditanam tanpa pupuk kimia, cukup dengan tanah bakar dan kesuburan alami,” tegas Lidia dalam pemaparannya.
Narasumber lainnya, Nurdiyansah Dalidjo, penulis buku “Rumah di Tanah Rempah”, mengulas bagaimana sejarah kolonialisme berkaitan erat dengan narasi makanan dan sistem pangan lokal. Ia menekankan pentingnya menyadari dan merawat ingatan kolektif terhadap praktik-praktik budaya pangan sebagai bagian dari identitas dan perlawanan terhadap dominasi asing.
“Kolonialisme telah mengganggu praktik-praktik baik di masyarakat adat, seperti nilai-nilai terhadap makanan, sakralitas, religiusitas, hingga sistem pertanian lokal yang dijalankan secara berkelanjutan,” ujarnya.
Sebagai penanggap, diskusi menghadirkan Mang Asep Salik, seorang pemerhati isu agama dan pangan lokal. Ia menyoroti bahwa kehilangan identitas pangan lokal tidak hanya berdampak pada aspek budaya, tetapi juga spiritualitas yang melekat dalam tradisi masyarakat.
“Pangan lokal sering diabaikan karena dianggap kuno. Padahal di balik setiap bahan pangan lokal, ada nilai, ada doa, ada cara hidup yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam,” jelasnya.
Diskusi berlangsung secara interaktif, dengan partisipasi dari berbagai kalangan yang turut memberikan tanggapan dan pertanyaan. FKD 2025 kembali menjadi ruang penting untuk memperkuat kesadaran akan pentingnya pelestarian pangan lokal, menjaga keberlanjutan lingkungan, serta melindungi identitas budaya masyarakat adat di tengah arus globalisasi dan modernisasi pangan.
Penulis: Asti Rahmaningrum